ReadNet 88 - Dunia esek-esek memang tak ada habisnya untuk dikupas, apalagi di
kota metropolitan seperti Jakarta. Mulai dari remangnya lampu warung
pinggir jalan, hingga gemerlapnya lampu kamar hotel, semua tersedia.
Termasuk yang belakangan kembali menjadi primadona pria hidung belang,
pijat plus-plus. Sudah jadi rahasia umum, bisnis prostitusi berkedok
panti pijat, mulai marak di Ibu Kota. Dengan menyajikan wanita muda
seksi dan berpakaian minim sebagai daya tarik, para pria hidung belang
pun rela menguras kocek lebih dalam-dalam untuk menikmatinya.
Sebut saja di bilangan Mangga Besar, Jakarta Pusat, Taman Sari, Jakarta
Barat dan Tebet, Jakarta Selatan, merupakan beberapa wilayah di Ibu
Kota yang kerap menjadi tujuan. Lokasinya yang berada di tengah kota,
dekat permukiman dan sederet dengan pusat-pusat perdagangan, menjadikan
griya pijat plus-plus di beberapa wilayah tersebut selalu ramai
pengunjung.
Layaknya tempat perawatan tubuh pada umumnya,
hampir seluruh griya pijat plus-plus memiliki fasilitas lengkap. sauna,
kolam air panas, ruang pijat dan sebagainya. Semua perlengkapan
kebersihan pun telah disediakan di sana, mulai dari handuk, celana, baju
mandi hingga sabun.
Setelah puas berendam dan mandi, pelanggan langsung memilih wanita yang
akan melayaninya. Siska (bukan nama sebenarnya), salah seorang pemijat
atau yang akrab disebut theraphist, mengungkapkan, dirinya bisa melayani
4 hingga 5 orang per harinya. Terlebih jika menjelang akhir pekan,
wanita yang baru berusia 19 tahun itu bisa melayani hingga 7 orang per
hari. Waktu-waktu yang kerap menjadi jam ramai adalah pukul 19.00 WIB
hingga pukul 22.00 WIB.
"Ya mungkin jam-jam segitu pas lagi
capek-capeknya pulang kerja, di jalan macet, mampir ke sini dulu. Kalau
Minggu malah kurang, biasanya Jumat atau Sabtu sudah mulai ramai,"
ujarnya.
Soal harga, masing-masing griya pijat memiliki
variasi. Kisarannya antara Rp 100 ribu hingga Rp 400 ribu, tergantung
jenis pijatan dan kualitas ruangan pijat. Sementara, untuk servis ekstra
sang theraphist, tentu berbeda lagi. Pelanggan harus membayar dua kali
lipat bahkan lebih kepada si theraphist.
Seperti yang
dikatakan theraphist lainnya, Irene (21) (bukan nama sebenarnya). Dari
griya pijat tempatnya bekerja, Irene hanya mendapat gaji Rp 10 ribu per
pelanggan. Karena nominal yang kecil itu, hidupnya bergantung pada tips
para pelanggan setianya. Tentunya dengan pelayanan ekstra.
"Rata-rata tamu ngasih tips Rp 50 ribu sampai Rp 200 ribu. Kalau sama
'main', ya nego saja. Bisa Rp 400 ribu sampai Rp 500 ribu," ujar Iren,
yang telah menjadi theraphist selama satu tahun terakhir.
Bagi
pelanggan yang hampir seluruhnya kaum Adam, faktor penat atas pekerjaan
dan mencari sensasi petualangan seksual yang baru menjadi alasan mereka
mencicipi pijatan para theraphist. Salah satunya Edo (26), warga
Jakarta Timur. Pria yang bekerja di sebuah perusahaan ternama itu
mengaku kerap menggunakan jasa para theraphist cantik di griya pijat
atas barbagai alasan tersebut.
"Sensasinya itu loh, bikin saya
balik ke sini lagi. Apalagi pas lagi capek-capeknya kerja, setelah
dipijat rasa capeknya hilang semua," ujarnya.
Berkunjung ke
griya pijat plus-plus, telah menjadi agendanya. Bersama rekan kerjanya,
Edo datang dan menikmati layanan pijat plus-plus minimal satu kali tiap
bulannya. Tentunya, tanpa sepengetahuan sang kekasih. Bahkan, jika bosan
melanda, berbagai cara pun digunakan untuk mencari informasi, griya
pijat mana di Jakarta yang memberikan pelayanan ekstra.
"Biasanya nyari-nyari di internet atau nggak dapat info dari teman, oh
di sini yang bagus. Buat cari sensasi lain lagi saja," cetus Edo.
Stop Melonte
Pemerintah, dalam hal ini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta,
tak menutup mata atas fenomena di masyarakat tersebut. Namun, dinas
seakan tak berdaya akan maraknya bisnis prostitusi berkedok griya pijat
tersebut. Pasalnya, layaknya efek balon gas, jika satu sisi di tekan,
akan muncul di sisi yang lainnya.
"Pastinya kita sudah
memantau. Nah, Informasi seperti ini kita tampung, kita tertibkan," ujar
Arie Budiman, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, saat
dihubungi secara terpisah.
Arie menjelaskan, Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta memiliki peraturan perundangan yang mengatur
tentang peruntukan izin usaha dan jam operasional tempat-tempat
tersebut, yaitu Pasal 43 dan Pasal 44 Perda DKI Jakarta Nomor 10 tahun
2004. Jika dilanggar, berbagai sanksi mulai dari teguran lisan, teguran
tertulis, hingga pencabutan izin usaha, mengintai griya-griya pijat
tersebut.
Realitas sosial semacam ini, kata Arie, tak mudah
untuk diselesaikan. Terlebih, bisnis prostitusi 'numpang' pada sektor
pariwisata sehingga sulit diberantas.
Oleh sebab itu, Dinas
Parawisata dan Kebudayaan DKI berharap ada gerakan kolektif dari semua
unsur, mulai dari orang tua, sekolah, pemuka agama, pihak kepolisian
untuk mencegah tindakan maksiat.
"Harus ada gerakan kolektif. Misalnya kita punya gerakan stop melonte, itu kalau semua pihak konsekuen," tuturnya.
Bagaikan
membasmi jamur di musim hujan, Arie menegaskan, Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan DKI Jakarta akan terus melakukan perbaikan kebijakan terkait
fenomena sosial itu. Yang paling penting, lanjut Arie, pihaknya tetap
memiliki komitmen, industri pariwisata Ibu Kota steril dari aktivitas
prostitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar