ReadNet 88 - Masih
lekat di ingatan Masdoeqi Moeslim peristiwa di Pondok Pesantren
Al-Jauhar di Desa Kanigoro, Kecamatan Kras, Kediri, pada 13 Januari
1965. Kala itu, jarum jam baru menunjukkan pukul 04.30. Ia dan 127
peserta pelatihan mental Pelajar Islam Indonesia sedang asyik membaca
Al-Quran dan bersiap untuk salat subuh. Tiba-tiba sekitar seribu anggota
PKI membawa berbagai senjata datang menyerbu. Sebagian massa PKI masuk
masjid, mengambil Al-Quran dan memasukkannya ke karung. "Selanjutnya
dilempar ke halaman masjid dan diinjak-injak," kata Masdoeqi saat
ditemui Tempo di rumahnya di Kecamatan Ngadiluwih, Kabupaten Kediri,
pekan lalu.
Para peserta pelatihan digiring dan dikumpulkan di
depan masjid. "Saya melihat semua panitia diikat dan ditempeli senjata,"
tutur Masdoeqi, yang kala itu masuk kepanitiaan pelatihan.
Dia
menyaksikan massa PKI juga menyerang rumah Kiai Jauhari, pengasuh
Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren
Lirboyo, Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke
luar rumah.
Diorama penyerbuan Pesantren Kanigoro
oleh massa PKI yang dipamerkan di Museum Pengkhianatan G30S/PKI di
Lubang Buaya, Jakarta Timur
Selanjutnya, massa PKI mengikat dan menggiring 98 orang,
termasuk Kiai Jauhari, ke markas kepolisian Kras dan menyerahkannya
kepada polisi. Menurut Masdoeqi, di sepanjang perjalanan, sekelompok
anggota PKI itu mencaci maki dan mengancam akan membunuh. Mereka
mengatakan ingin menuntut balas atas kematian kader PKI di Madiun dan
Jombang yang tewas dibunuh anggota NU sebulan sebelumnya. Akhir 1964,
memang terjadi pembunuhan atas sejumlah kader PKI di Madiun dan Jombang.
"Utang Jombang dan Madiun dibayar di sini saja," ujar Masdoeqi,
menirukan teriakan salah satu anggota PKI yang menggiringnya.
Massa PKI dalam suatu demonstrasi mendukung pembentukan angkatan ke-5 di Jakarta
Kejadian itu dikenal sebagai Tragedi Kanigoro pertama kalinya
PKI melakukan penyerangan besar-besaran di Kediri. Sebelumnya, meski
hubungan kelompok santri dan PKI tegang, tak pernah ada konflik
terbuka.
Meski tak sampai ada korban jiwa, penyerbuan di
Kanigoro menimbulkan trauma sekaligus kemarahan kalangan pesantren dan
anggota Ansor Kediri, yang sebagian besar santri pesantren. Memang kala
itu para santri belum bergerak membalas. Namun, seperti api dalam sekam,
ketegangan antara PKI dan santri makin membara.
Pengasuh
Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Idris Marzuki, mengakui atmosfer
permusuhan antara santri dan PKI telah berlangsung jauh sebelum
pembantaian. "Bila berpapasan, kami saling melotot dan menggertak,"
katanya. Kubu NU dan PKI juga sering unjuk kekuatan dalam setiap
kegiatan publik. Misalnya ketika pawai memperingati Hari Kemerdekaan 17
Agustus, rombongan PKI dan rombongan NU saling ejek bahkan sampai
melibatkan simpatisan kedua kelompok. Kondisi itu semakin diperparah
oleh penyerbuan PKI ke Kanigoro.
Peristiwa di Kanigoro itu pula yang memperkuat tekad kaum pesantren
dan anggota Ansor di Kediri, termasuk Abdul, membantai anggota PKI.
Pembantaian mencapai puncaknya ketika pemerintah mengumumkan bahwa PKI
adalah organisasi terlarang. Abdul dan para anggota Ansor lainnya
semakin yakin bahwa perbuatan mereka benar. "Seperti api yang disiram
bensin, kami semakin mendapat angin untuk memusnahkan PKI," ujarnya.
(Tempo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar